Isbroad.com, Bandung - Generasi Z (Gen Z), yang mencakup individu yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, merupakan generasi yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan media sosial. Sebuah studi yang dilakukan oleh American Psychological Association pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa sekitar 91% anggota Gen Z melaporkan merasa stres, dengan hampir setengahnya mengalami kecemasan yang memengaruhi kualitas hidup mereka. Pengaruh media sosial yang sangat kuat, seperti tekanan untuk selalu tampil sempurna, berkontribusi pada meningkatnya tingkat stres dan gangguan mental dalam kelompok usia ini.
Sementara itu, Gen Alpha, yang lahir setelah tahun 2013, tumbuh di tengah revolusi teknologi yang jauh lebih maju dibandingkan dengan Gen Z. Mereka lebih awal terpapar dengan perangkat digital seperti tablet dan smartphone, bahkan pada usia yang sangat muda.
Teori psikologi perkembangan, seperti yang diungkapkan oleh Jean Piaget dan Lev Vygotsky, menyatakan bahwa lingkungan dan teknologi dapat memengaruhi perkembangan kognitif dan sosial anak. Dalam konteks ini, meskipun Gen Alpha memiliki potensi untuk tumbuh dengan akses yang lebih mudah pada alat bantu mental health, tantangan baru terkait dengan kecanduan digital dan kurangnya keterampilan sosial yang dikembangkan secara langsung juga menjadi perhatian utama.
Salah satu perbedaan utama antara Gen Z dan Gen Alpha dalam hal pengendalian kesehatan mental adalah tingkat kecemasan yang lebih tinggi pada Gen Z. Studi yang dipublikasikan dalam Journal of Abnormal Psychology pada tahun 2021 menunjukkan bahwa sekitar 70% remaja Gen Z menganggap kecemasan sebagai bagian besar dari hidup mereka.
Sumber kecemasan ini seringkali terkait dengan ketidakpastian masa depan, tekanan akademik, dan perubahan sosial yang cepat. Sementara itu, Gen Alpha, meskipun juga terpapar stres sejak usia dini, berpotensi memiliki cara yang lebih baik untuk mengelola stres ini berkat kemajuan teknologi yang menyediakan berbagai aplikasi kesehatan mental seperti meditasi atau terapi daring.
Namun, meskipun akses teknologi yang lebih mudah dapat menawarkan solusi untuk pengelolaan mental health, ada pula sisi negatif dari kemajuan ini. Teori kecanduan media sosial yang diungkapkan oleh Sherry Turkle dalam bukunya Alone Together menunjukkan bahwa semakin besar keterlibatan seseorang dengan teknologi, semakin rendah kemampuan mereka untuk mengelola emosi secara langsung. Hal ini bisa lebih berbahaya bagi Gen Alpha yang lebih mudah terpapar dunia digital daripada Gen Z yang sudah mulai mengenal dunia nyata sebelum terbentuknya keterikatan kuat pada teknologi.
Gen Z telah menunjukkan kecenderungan untuk lebih terbuka dalam membicarakan masalah kesehatan mental.
Menurut survei yang dilakukan oleh The National Alliance on Mental Illness pada tahun 2022, lebih dari 60% Gen Z lebih nyaman membicarakan masalah kesehatan mental dengan teman atau keluarga dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya perubahan positif dalam stigma terhadap kesehatan mental. Sebaliknya, meskipun Gen Alpha tumbuh di lingkungan yang lebih terbuka mengenai kesehatan mental, mereka cenderung lebih mengandalkan solusi digital dan terapi daring daripada interaksi tatap muka untuk mencari bantuan.
Perbedaan ini mengarah pada pendekatan yang berbeda dalam pengelolaan mental health di kedua generasi. Gen Z cenderung menggunakan dukungan sosial, seperti berbicara dengan teman atau terlibat dalam kelompok dukungan, sebagai cara untuk mengatasi masalah mental mereka. Hal ini sesuai dengan teori psikologi sosial, seperti yang dijelaskan oleh Albert Bandura dalam konsep self-efficacy, yang menekankan pentingnya dukungan sosial dalam pengembangan individu. Sebaliknya, Gen Alpha, meskipun memiliki akses yang lebih banyak terhadap aplikasi kesehatan mental, mungkin kurang mengembangkan keterampilan sosial yang mendalam, karena lebih sering berinteraksi dengan perangkat digital daripada dengan orang lain secara langsung.
Selain itu, menurut laporan dari World Health Organization pada 2023, Gen Z lebih rentan terhadap gangguan mental serius, seperti depresi dan kecemasan, karena tekanan akademik dan sosial media yang intens. Sementara itu, Gen Alpha yang terpapar sejak dini pada dunia digital berisiko mengalami gangguan kecemasan akibat kecanduan teknologi, meskipun mereka memiliki potensi untuk mengatasi stres dengan lebih banyak alat bantu, seperti aplikasi mindfulness dan terapi virtual.
Gen Alpha juga berada dalam posisi yang unik karena mereka dapat belajar dari pengalaman Gen Z mengenai dampak negatif dari teknologi terhadap kesehatan mental. Hal ini memberikan peluang bagi para pendidik dan orang tua untuk lebih fokus mengajarkan keterampilan pengelolaan stres dan emosi secara langsung. Berdasarkan teori social learning dari Bandura, jika Gen Alpha diberikan model perilaku yang sehat dalam mengelola kesehatan mental, mereka dapat berkembang menjadi individu yang lebih tahan terhadap stres meskipun terpapar teknologi yang lebih maju.
Secara keseluruhan, perbedaan dalam cara Gen Z dan Gen Alpha mengelola kesehatan mental menunjukkan bahwa meskipun keduanya menghadapi tantangan yang mirip, seperti stres dan kecemasan, cara mereka menghadapinya dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti akses terhadap teknologi dan perubahan sosial yang terjadi di sekitar mereka. Gen Z yang lebih bergantung pada dukungan sosial langsung untuk mengatasi masalah mental mereka mungkin merasa lebih terhubung secara emosional dengan lingkungan sekitar, sementara Gen Alpha mungkin lebih terisolasi, mengandalkan aplikasi atau terapi digital untuk mengatasi perasaan mereka.
Dengan demikian, meskipun Gen Z dan Gen Alpha menghadapi tantangan serupa terkait pengendalian mental health, generasi yang lebih muda ini mungkin memiliki alat yang lebih baik dalam hal pengelolaan kesehatan mental melalui teknologi, tetapi mereka juga berisiko kehilangan kemampuan untuk mengembangkan keterampilan sosial yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah secara langsung. Oleh karena itu, penting bagi kedua generasi ini untuk menerima keseimbangan antara penggunaan teknologi dan interaksi sosial dalam pengelolaan kesehatan mental mereka.
Akbar Satria
Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar