Isbroad.com, Bandung - Istilah "Moderasi Beragama" mulai dikenal luas ketika Lukman Hakim Saifudin menjabat sebagai Menteri Agama RI (2014–2019). Dengan gagasan yang beliau usung, tidak heran jika ia dijuluki Bapak Moderasi Beragama. Bahkan, pemerintah kini menjadikan moderasi beragama sebagai program prioritas nasional, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. Namun, dalam prakteknya, moderasi beragama sering kali menimbulkan pro dan kontra. Satu sisi dianggap solusi penting bagi keberagaman Indonesia, tapi disisi lain, ada kekhawatiran bahwa gagasan ini bisa disalah artikan sebagai toleransi berlebihan yang justru melemahkan prinsip agama.
Secara sederhana, moderasi beragama bertujuan agar kita tidak jatuh ke dalam dua kutub ekstrim. Di satu sisi, ada mereka yang terlalu ketat dalam memandang agama hingga menolak pandangan berbeda dan berujung pada radikalisme. Di sisi lain, ada mereka yang terlalu longgar, mengutamakan toleransi hingga lupa menjaga esensi agama itu sendiri. Moderasi bukan berarti menghilangkan keyakinan atau menyamakan semua agama, tapi menempatkan keberagaman pada tempat yang proporsional. Sayangnya, dalam praktiknya, ada pihak-pihak yang memahami moderasi beragama sebagai ajakan untuk selalu kompromi, bahkan jika itu berarti mengorbankan prinsip keimanan.
Toleransi adalah nilai penting dalam kehidupan berbangsa, tapi seperti halnya aturan lain, ia juga punya batas. Ketika toleransi diterapkan secara berlebihan, kita sering kali mengabaikan prinsip-prinsip agama demi menjaga harmoni yang semu. Misalnya, ada anggapan bahwa demi moderasi, seseorang harus "melonggarkan" keyakinannya agar terlihat lebih inklusif. Padahal, inklusivitas tidak berarti menanggalkan identitas agama. Jika ini terus terjadi, generasi muda bisa kehilangan arah. Mereka mungkin berpikir bahwa moderasi adalah alasan untuk menghapus batasan antara benar dan salah dalam agama, dan ini jelas berbahaya.
Moderasi beragama sebenarnya adalah konsep yang sangat baik jika diterapkan dengan benar. Ia bisa menjadi jembatan untuk mengurangi konflik dan meningkatkan dialog antarumat beragama. Tapi, untuk mencapai ini, pemerintah dan para tokoh agama harus lebih gencar memberikan pemahaman yang tepat. Penting untuk menjelaskan bahwa modernisasi bukan berarti menyeragamkan agama atau membiarkan prinsip agama dikompromikan. Sebaliknya, moderasi adalah cara untuk saling menghormati keberagaman, dengan tetap menjaga nilai-nilai keimanan masing-masing.
Moderasi beragama pada dasarnya adalah tentang keseimbangan. Ia bukan alasan untuk menjadi terlalu longgar atau terlalu kaku. Jika kita salah langkah, bukan tidak mungkin moderasi beragama akan dianggap sebagai toleransi yang kebablasan. Sebagai masyarakat yang hidup di tengah keberagaman, kita perlu bijak memahami dan menerapkan konsep ini. Moderasi beragama bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga kita semua. Jangan sampai, demi toleransi, kita malah kehilangan arah dan identitas. Jadi, pertanyaannya sekarang: apakah kita sudah benar-benar memahami moderasi beragama, atau justru menggunakannya sebagai dalih untuk bertoleransi secara berlebihan?
Secara sederhana, moderasi beragama bertujuan agar kita tidak jatuh ke dalam dua kutub ekstrim. Di satu sisi, ada mereka yang terlalu ketat dalam memandang agama hingga menolak pandangan berbeda dan berujung pada radikalisme. Di sisi lain, ada mereka yang terlalu longgar, mengutamakan toleransi hingga lupa menjaga esensi agama itu sendiri. Moderasi bukan berarti menghilangkan keyakinan atau menyamakan semua agama, tapi menempatkan keberagaman pada tempat yang proporsional. Sayangnya, dalam praktiknya, ada pihak-pihak yang memahami moderasi beragama sebagai ajakan untuk selalu kompromi, bahkan jika itu berarti mengorbankan prinsip keimanan.
Toleransi adalah nilai penting dalam kehidupan berbangsa, tapi seperti halnya aturan lain, ia juga punya batas. Ketika toleransi diterapkan secara berlebihan, kita sering kali mengabaikan prinsip-prinsip agama demi menjaga harmoni yang semu. Misalnya, ada anggapan bahwa demi moderasi, seseorang harus "melonggarkan" keyakinannya agar terlihat lebih inklusif. Padahal, inklusivitas tidak berarti menanggalkan identitas agama. Jika ini terus terjadi, generasi muda bisa kehilangan arah. Mereka mungkin berpikir bahwa moderasi adalah alasan untuk menghapus batasan antara benar dan salah dalam agama, dan ini jelas berbahaya.
Moderasi beragama sebenarnya adalah konsep yang sangat baik jika diterapkan dengan benar. Ia bisa menjadi jembatan untuk mengurangi konflik dan meningkatkan dialog antarumat beragama. Tapi, untuk mencapai ini, pemerintah dan para tokoh agama harus lebih gencar memberikan pemahaman yang tepat. Penting untuk menjelaskan bahwa modernisasi bukan berarti menyeragamkan agama atau membiarkan prinsip agama dikompromikan. Sebaliknya, moderasi adalah cara untuk saling menghormati keberagaman, dengan tetap menjaga nilai-nilai keimanan masing-masing.
Moderasi beragama pada dasarnya adalah tentang keseimbangan. Ia bukan alasan untuk menjadi terlalu longgar atau terlalu kaku. Jika kita salah langkah, bukan tidak mungkin moderasi beragama akan dianggap sebagai toleransi yang kebablasan. Sebagai masyarakat yang hidup di tengah keberagaman, kita perlu bijak memahami dan menerapkan konsep ini. Moderasi beragama bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga kita semua. Jangan sampai, demi toleransi, kita malah kehilangan arah dan identitas. Jadi, pertanyaannya sekarang: apakah kita sudah benar-benar memahami moderasi beragama, atau justru menggunakannya sebagai dalih untuk bertoleransi secara berlebihan?
Defi Selfia
Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar