Isbroad.com, Bandung - Gelombang kenaikan harga bahan pokok yang terjadi menjelang akhir tahun 2024 kembali menguji ketahanan ekonomi masyarakat Indonesia. Fenomena ini bukan sekadar angka statistik, melainkan realitas pahit yang dirasakan langsung oleh jutaan keluarga di seluruh nusantara, terutama masyarakat kelas menengah bawah.
Beras, komoditas pangan strategis, kini telah menembus harga Rp15.000 per kilogram di beberapa wilayah, melampaui daya beli masyarakat. Minyak goreng, telur, dan bahan pangan pokok lainnya pun mengalami lonjakan harga yang signifikan. Kondisi ini diperparah oleh beberapa faktor kompleks, mulai dari fluktuasi iklim, rantai pasok yang terganggu, hingga spekulasi pasar yang tidak terkendali.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian tampaknya masih kesulitan mengimplementasikan strategi komprehensif untuk meredam gejolak harga. Kebijakan intervensi pasar yang ada selama ini terkesan parsial dan tidak menyentuh akar permasalahan. Stok pangan yang tidak merata, distribusi yang tidak adil, serta lemahnya pengawasan terhadap para spekulan menjadi titik kritis yang belum terselesaikan.
Masyarakat kelas menengah bawah kembali menjadi kelompok paling rentan. Mereka dipaksa melakukan berbagai strategi bertahan hidup, mulai dari menghemat pengeluaran, mengurangi konsumsi, hingga memilih bahan pangan alternatif yang lebih murah. Dampak psikologis dan nutrisi dari kondisi ini patut menjadi perhatian serius.
Diperlukan pendekatan multidimensi untuk mengatasi persoalan ini. Pertama, pemerintah harus segera melakukan intervensi pasar yang terarah melalui operasi pasar murah secara berkelanjutan. Kedua, percepatan produktivitas pertanian domestik melalui program pemberdayaan petani dan inovasi teknologi pertanian menjadi keharusan.
Peran pemerintah daerah juga krusial dalam menjaga stabilitas harga di tingkat lokal. Mereka perlu mengoptimalkan potensi pertanian setempat, mendorong sistem distribusi yang efisien, serta melindungi petani dari praktik-praktik yang merugikan.
Masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah dapat berkontribusi melalui program pendampingan, edukasi manajemen keuangan keluarga, serta inisiasi komunitas pertanian perkotaan. Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci utama dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan ini.
Sudah saatnya kita tidak sekadar menjadi penonton pasif dalam dinamika ekonomi yang kompleks. Setiap komponen bangsa pemerintah, pelaku usaha, hingga masyarakat umum memiliki tanggung jawab untuk menciptakan ekosistem ekonomi yang berkeadilan.
Ananda Anggunistiani
Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar