Isbroad.com, Bandung - Remaja adalah aset masa depan bagi bangsa, sebagai generasi penerus di masa depan. Sudah semestinya kehadiran remaja menjadi harapan besar bagi suatu bangsa, tak terkecuali di Indonesia. Namun, kini tampaknya hal tersebut tampak mengkhawatirkan. Remaja harapan masa depan Indonesia kini tampaknya lebih menggandrungi tawuran dibanding mempersiapkan peran utama mereka sebagai generasi penerus. Padahal, ketika berada di usia remaja tugas utamanya tidak jauh dari menempuh pendidikan sebagai bekal berharga di masa depan.
Remaja dapat dipahami sebagai individu yang sedang berada di masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa serta dapat ditandai dengan perkembangan yang terjadi dari aspek fisik, psikis, dan sosial. Fase remaja ini berlangsung mulai dari usia 13 tahun hingga 21 tahun. Fase remaja menjadi titik yang cukup menentukan untuk masa depan. Tak heran jika masa-masa ini menjadi masa yang paling menyenangkan bagi para remaja, sebab di masa inilah mereka banyak mencari jati diri mereka.
Proses pencarian jati diri yang dilakukan oleh para remaja tentu berbeda-beda. Hal ini juga didukung oleh faktor rasa penasaran yang besar pada remaja. Para remaja cenderung mencoba berbagai hal yang menurut mereka menarik. Tak sedikit remaja yang tertarik dengan kegiatan-kegiatan positif dan bermanfaat bagi masa depan mereka. Namun, tak sedikit remaja yang mengikuti rasa penasaran mereka tanpa disaring kembali. Hal ini lah yang membuat mereka terjerumus kedalam hal-hal negatif yang tidak seharusnya dilakukan, termasuk tawuran.
Pada remaja di Indonesia, kasus tawuran sudah banyak terjadi dan tidak asing lagi. Ironinya hampir mayoritas kasus tawuran yang terjadi melibatkan para remaja. Umumnya diantara mereka yang terlibat merupakan pelajar. Dari sekian banyak kasus yang terjadi, tawuran tidak hanya dilakukan oleh remaja-remaja pelajar SMA. Kini pelajar SMP pun turut terlibat bahkan menginisiasi terjadinya tawuran ini. Mirisnya, kini anak SD sekalipun turut melakukan hal yang tidak bermanfaat ini.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014, tawuran antar pelajar terjadi di 0,4% desa/kelurahan di Indonesia. Kemudian pada tahun 2018 naik menjadi 0,65%. Selanjutnya, angka ini turun pada tahun 2021 menjadi 0,22%. Data ini sedikitnya menunjukkan sejauh mana tawuran telah merajalela di Indonesia. Bahkan hingga kini tawuran masih terus terjadi dimana-mana.
Tentu kita masih ingat dengan pemberitaan beberapa waktu silam tentang tawuran antar kelompok remaja yang terjadi dan menimbulkan korban. Pada 8 September lalu, seorang pelajar SMK terlibat dalam tawuran antar remaja dan meninggal dalam tawuran tersebut. Pada waktu lain, tanggal 1 Desember lalu terjadi tawuran antar kelompok remaja di Belawan, Kota Medan. Akibat dari tawuran ini hingga melukai warga sekitar. Dapat dilihat betapa maraknya kasus tawuran ini dan seperti menimbulkan pandangan seolah tawuran adalah jati diri bagi seorang remaja.
Penyebab tawuran pun berbeda-beda, mulai dari masalah sepele hingga masalah yang cukup besar. Pemicu tawuran umumnya bermula dari saling ejek, kemudian tidak terima satu sama lain hingga jadilah tawuran yang merugikan bagi kedua pihak. Selain itu, ada juga penyebab lain seperti bersenggolan tidak sengaja, rebutan wanita, rebutan wilayah, bahkan saling menatap secara tidak sengaja dianggap sebagai gerak tubuh tidak menyenangkan. Bahkan, alasan lain yang lebih konyol adalah tawuran tersebut sudah dianggap sebagai tradisi.
Apabila kita melihat kembali pemicu-pemicu tawuran yang kerap terjadi, dapat dilihat bahwa pemicu dasarnya adalah ketidakterimaan, atau kesalahpahaman dari sesama remaja akan sesuatu. Hal ini tentu sangat disayangkan jika harus berakhir dengan sebuah tawuran. Sebab, akibat yang akan ditimbulkan bukanlah akibat yang baik. Betapa banyak tawuran yang berakhir dengan jatuhnya korban nyawa.
Selain itu, terdapat faktor-faktor lain yang juga mendukung terjadinya tawuran ini. Pertama, krisis identitas yang terjadi pada masa remaja. Hal ini merujuk pada ketidakmampuan para remaja dalam proses pencarian identitas diri. Biasanya para remaja mencoba berbagai hal untuk mencoba mencari identitasnya, dan untuk mencoba menunjukkan siapa dirinya. Sehingga mereka tak jarang melakukan hal yang diluar nalar sekalipun. Sebab, mereka mencoba mencari pengakuan untuk dianggap ada.
Kedua, memiliki kontrol diri yang lemah. Pengendalian diri pada remaja masih kurang baik, dan kurang adaptif. Hal ini menimbulkan ketidakstabilan dalam emosi, mengendalikan diri, cenderung mudah marah, frustasi, dan kurang peka.
Ketiga, pengaruh lingkungan. Lingkungan memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan di masa remaja. Pengaruh tersebut datang dari lingkungan keluarga, hingga lingkungan pertemanan. Umumnya banyak pengaruh buruk yang didapat remaja dari lingkungan pertemanannya. Hal ini tidak terlepas dari pola pertemanan yang kurang disaring. Dampaknya banyak remaja yang ikut terjerumus dengan lingkungan pertemanannya.
Remaja dapat dipahami sebagai individu yang sedang berada di masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa serta dapat ditandai dengan perkembangan yang terjadi dari aspek fisik, psikis, dan sosial. Fase remaja ini berlangsung mulai dari usia 13 tahun hingga 21 tahun. Fase remaja menjadi titik yang cukup menentukan untuk masa depan. Tak heran jika masa-masa ini menjadi masa yang paling menyenangkan bagi para remaja, sebab di masa inilah mereka banyak mencari jati diri mereka.
Proses pencarian jati diri yang dilakukan oleh para remaja tentu berbeda-beda. Hal ini juga didukung oleh faktor rasa penasaran yang besar pada remaja. Para remaja cenderung mencoba berbagai hal yang menurut mereka menarik. Tak sedikit remaja yang tertarik dengan kegiatan-kegiatan positif dan bermanfaat bagi masa depan mereka. Namun, tak sedikit remaja yang mengikuti rasa penasaran mereka tanpa disaring kembali. Hal ini lah yang membuat mereka terjerumus kedalam hal-hal negatif yang tidak seharusnya dilakukan, termasuk tawuran.
Pada remaja di Indonesia, kasus tawuran sudah banyak terjadi dan tidak asing lagi. Ironinya hampir mayoritas kasus tawuran yang terjadi melibatkan para remaja. Umumnya diantara mereka yang terlibat merupakan pelajar. Dari sekian banyak kasus yang terjadi, tawuran tidak hanya dilakukan oleh remaja-remaja pelajar SMA. Kini pelajar SMP pun turut terlibat bahkan menginisiasi terjadinya tawuran ini. Mirisnya, kini anak SD sekalipun turut melakukan hal yang tidak bermanfaat ini.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014, tawuran antar pelajar terjadi di 0,4% desa/kelurahan di Indonesia. Kemudian pada tahun 2018 naik menjadi 0,65%. Selanjutnya, angka ini turun pada tahun 2021 menjadi 0,22%. Data ini sedikitnya menunjukkan sejauh mana tawuran telah merajalela di Indonesia. Bahkan hingga kini tawuran masih terus terjadi dimana-mana.
Tentu kita masih ingat dengan pemberitaan beberapa waktu silam tentang tawuran antar kelompok remaja yang terjadi dan menimbulkan korban. Pada 8 September lalu, seorang pelajar SMK terlibat dalam tawuran antar remaja dan meninggal dalam tawuran tersebut. Pada waktu lain, tanggal 1 Desember lalu terjadi tawuran antar kelompok remaja di Belawan, Kota Medan. Akibat dari tawuran ini hingga melukai warga sekitar. Dapat dilihat betapa maraknya kasus tawuran ini dan seperti menimbulkan pandangan seolah tawuran adalah jati diri bagi seorang remaja.
Penyebab tawuran pun berbeda-beda, mulai dari masalah sepele hingga masalah yang cukup besar. Pemicu tawuran umumnya bermula dari saling ejek, kemudian tidak terima satu sama lain hingga jadilah tawuran yang merugikan bagi kedua pihak. Selain itu, ada juga penyebab lain seperti bersenggolan tidak sengaja, rebutan wanita, rebutan wilayah, bahkan saling menatap secara tidak sengaja dianggap sebagai gerak tubuh tidak menyenangkan. Bahkan, alasan lain yang lebih konyol adalah tawuran tersebut sudah dianggap sebagai tradisi.
Apabila kita melihat kembali pemicu-pemicu tawuran yang kerap terjadi, dapat dilihat bahwa pemicu dasarnya adalah ketidakterimaan, atau kesalahpahaman dari sesama remaja akan sesuatu. Hal ini tentu sangat disayangkan jika harus berakhir dengan sebuah tawuran. Sebab, akibat yang akan ditimbulkan bukanlah akibat yang baik. Betapa banyak tawuran yang berakhir dengan jatuhnya korban nyawa.
Selain itu, terdapat faktor-faktor lain yang juga mendukung terjadinya tawuran ini. Pertama, krisis identitas yang terjadi pada masa remaja. Hal ini merujuk pada ketidakmampuan para remaja dalam proses pencarian identitas diri. Biasanya para remaja mencoba berbagai hal untuk mencoba mencari identitasnya, dan untuk mencoba menunjukkan siapa dirinya. Sehingga mereka tak jarang melakukan hal yang diluar nalar sekalipun. Sebab, mereka mencoba mencari pengakuan untuk dianggap ada.
Kedua, memiliki kontrol diri yang lemah. Pengendalian diri pada remaja masih kurang baik, dan kurang adaptif. Hal ini menimbulkan ketidakstabilan dalam emosi, mengendalikan diri, cenderung mudah marah, frustasi, dan kurang peka.
Ketiga, pengaruh lingkungan. Lingkungan memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan di masa remaja. Pengaruh tersebut datang dari lingkungan keluarga, hingga lingkungan pertemanan. Umumnya banyak pengaruh buruk yang didapat remaja dari lingkungan pertemanannya. Hal ini tidak terlepas dari pola pertemanan yang kurang disaring. Dampaknya banyak remaja yang ikut terjerumus dengan lingkungan pertemanannya.
Alwi Nurul Fachrurozy
Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar