Isbroad.com, Bandung - Teknologi awalnya diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia, tetapi kini perannya telah bergeser. Teknologi tidak lagi sekadar alat, melainkan juga menjadi pengarah pola hidup, bahkan pembentuk perilaku masyarakat. Di era digital ini, sulit untuk memisahkan kehidupan sehari-hari dari pengaruh teknologi, terutama dengan masifnya penggunaan internet dan media sosial. Menurut data tahun 2024 dari Katadata, penetrasi internet di Indonesia mencapai 93,4% dari populasi, atau sekitar 242 juta pengguna. Dari jumlah tersebut, 191 juta orang menggunakan media sosial, dengan 167 juta di antaranya aktif.
Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, ada tantangan besar yang muncul. Teknologi, terutama media sosial, sering kali membentuk perilaku manusia tanpa disadari. Algoritma yang dirancang untuk menarik perhatian pengguna, misalnya, menciptakan kebiasaan scrolling tanpa henti atau ketergantungan pada validasi sosial dalam bentuk likes dan komentar.
Ketergantungan ini menunjukkan bagaimana teknologi telah beralih dari sekadar alat menjadi semacam penentu arah. Kita sering merasa bebas memilih, padahal keputusan tersebut mungkin telah dipengaruhi oleh algoritma yang bekerja di balik layar. Selain itu, tantangan lain seperti penyebaran informasi palsu, kecanduan digital, dan menurunnya interaksi langsung juga menjadi efek samping yang tak terelakkan.
Meski teknologi punya pengaruh besar, manusia tetap punya kendali untuk menentukan bagaimana menggunakannya. Literasi digital menjadi solusi utama untuk menghadapi tantangan determinisme teknologi. Dengan memahami cara kerja teknologi dan algoritma, kita bisa lebih bijak dalam memanfaatkan media sosial, menjadikannya sebagai alat yang benar-benar mendukung kebutuhan kita. Pada akhirnya, teknologi tetaplah alat. Kita yang harus memastikan bahwa teknologi berjalan sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan hidup kita, bukan sebaliknya. Dengan kesadaran ini, teknologi bisa menjadi partner dalam membangun kehidupan yang lebih baik, bukan pemimpin yang mengarahkan hidup tanpa kita sadari.
Defi Selfia
Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Platform populer seperti YouTube dengan 139 juta pengguna, Instagram dengan 122 juta pengguna, dan TikTok dengan 89 juta pengguna telah menjadi bagian penting dari keseharian kita. Media sosial kini bukan hanya alat komunikasi atau hiburan, tetapi juga ruang di mana tren, gaya hidup, hingga keputusan sehari-hari terbentuk.
Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, ada tantangan besar yang muncul. Teknologi, terutama media sosial, sering kali membentuk perilaku manusia tanpa disadari. Algoritma yang dirancang untuk menarik perhatian pengguna, misalnya, menciptakan kebiasaan scrolling tanpa henti atau ketergantungan pada validasi sosial dalam bentuk likes dan komentar.
Ketergantungan ini menunjukkan bagaimana teknologi telah beralih dari sekadar alat menjadi semacam penentu arah. Kita sering merasa bebas memilih, padahal keputusan tersebut mungkin telah dipengaruhi oleh algoritma yang bekerja di balik layar. Selain itu, tantangan lain seperti penyebaran informasi palsu, kecanduan digital, dan menurunnya interaksi langsung juga menjadi efek samping yang tak terelakkan.
Meski teknologi punya pengaruh besar, manusia tetap punya kendali untuk menentukan bagaimana menggunakannya. Literasi digital menjadi solusi utama untuk menghadapi tantangan determinisme teknologi. Dengan memahami cara kerja teknologi dan algoritma, kita bisa lebih bijak dalam memanfaatkan media sosial, menjadikannya sebagai alat yang benar-benar mendukung kebutuhan kita. Pada akhirnya, teknologi tetaplah alat. Kita yang harus memastikan bahwa teknologi berjalan sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan hidup kita, bukan sebaliknya. Dengan kesadaran ini, teknologi bisa menjadi partner dalam membangun kehidupan yang lebih baik, bukan pemimpin yang mengarahkan hidup tanpa kita sadari.
Defi Selfia
Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar