Isbroad.com, Bandung - Kasus Supriyani, seorang guru yang divonis penjara karena diduga menganiaya murid anak polisi, membuka ruang diskusi mendalam tentang kompleksitas dunia pendidikan, supremasi hukum, dan batas-batas pendisiplinan di lingkungan sekolah.
Faktanya, kasus ini tidak dapat disederhanakan sekadar hitam putih. Tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan tentu tidak dapat dibenarkan, namun konteks dan gradasi tindakan perlu dipertimbangkan secara proporsional. Apakah tindakan Supriyani murni kekerasan atau bagian dari upaya mendisiplinkan yang keliru, memerlukan analisis mendalam yang komprehensif.
Terbukti dari putusan hukum yang ada, Supriyani dianggap telah melakukan tindakan di luar batas kewajaran sebagai pendidik. Namun, pertanyaan fundamental yang patut diajukan adalah: Bagaimana sistem pendidikan kita mempersiapkan para guru dalam menangani persoalan disiplin siswa? Apakah telah tersedia panduan dan pelatihan yang memadai tentang penanganan konflik di ruang kelas?
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya menjadikan kasus ini sebagai momentum evaluasi menyeluruh. Dibutuhkan kurikulum pelatihan guru yang tidak sekadar mentransfer pengetahuan, melainkan membangun kemampuan pedagogis dalam mengelola konflik secara humanis.
Tekanan eksternal, seperti status sosial orangtua siswa, tidak boleh memengaruhi proses penegakan keadilan. Seorang guru yang bersalah harus mendapatkan konsekuensi hukum, namun dengan tetap memperhatikan martabat kemanusiaannya.
Tekanan eksternal, seperti status sosial orangtua siswa, tidak boleh memengaruhi proses penegakan keadilan. Seorang guru yang bersalah harus mendapatkan konsekuensi hukum, namun dengan tetap memperhatikan martabat kemanusiaannya.
Persoalan disiplin di sekolah memerlukan pendekatan multidimensional. Orangtua, guru, dan siswa harus membangun ekosistem komunikasi yang sehat. Kekerasan bukanlah solusi, namun dialog dan pemahaman bersama adalah kunci sesungguhnya dalam mendidik generasi muda.
Paradoks dalam kasus Supriyani menunjukkan rapuhnya sistem pendidikan kita. Ketika seorang guru yang notabene bertugas mendidik justru berhadapan dengan mekanisme hukum yang kaku, ini menjadi pertanda bahwa sistem pendidikan kita memerlukan transformasi mendasar.
Penting untuk dicatat, setiap kasus memiliki kompleksitasnya sendiri. Tidak bijak jika kita menghakimi secara membabi buta tanpa memahami konteks yang sebenarnya. Keadilan harus ditegakkan, namun kemanusiaan juga harus tetap dijunjung tinggi.
Sudah saatnya kita membangun kultur pendidikan yang lebih bermartabat. Kultur yang tidak sekadar menegakkan aturan, melainkan membangun karakter, empati, dan saling pengertian.
Billy Yanuari
Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar