Isbroad.com, Bandung - Kekerasan seksual di Indonesia semakin menunjukkan kondisi darurat. Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2024, 5,1 persen perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan seksual dalam setahun terakhir. Sementara itu, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 menunjukkan 9 dari 100 anak usia 13-17 tahun pernah menjadi korban kekerasan seksual disepanjang hidupnya. Data ini memperlihatkan bahwa kekerasan seksual terjadi di berbagai usia dan kelompok, dengan meninggalkan dampak yang sangat serius.
Pertama, kekerasan seksual meninggalkan dampak traumatis berkepanjangan. Beberapa korban mengungkapkan bahwa pengalaman tersebut membuat mereka merasa hancur hingga ingin mengakhiri hidup. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemulihan trauma yang didukung oleh lingkungan terdekat dan tenaga profesional. Psikolog Ika Putri Dewi menyebutkan bahwa dukungan lingkungan, validasi emosi, dan akses pada layanan kesehatan mental adalah kunci dalam proses pemulihan.
Dampak ini dapat dianalisis melalui Teori Trauma Psikologis (Herman, 1992), yang menjelaskan bahwa kekerasan seksual tidak hanya melukai fisik korban, tetapi juga melumpuhkan kemampuan mereka untuk merasa aman, dipercaya, dan terhubung dengan lingkungan sosial. Oleh karena itu, layanan kesehatan mental yang responsif menjadi kebutuhan mendesak.
Kedua, sistem hukum saat ini belum cukup melindungi korban. Meski ada UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), implementasinya masih terhambat, terutama karena aparat penegak hukum sering kali tidak memahami atau mengakui berbagai jenis kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang ini. Akibatnya, banyak kasus yang terhenti dengan alasan kurang bukti, atau bahkan korban dikriminalisasi balik oleh pelaku dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Fenomena ini relevan dengan Teori Gender dan Kekuasaan (Connell, 1987), yang menjelaskan bahwa relasi kekuasaan yang timpang dalam masyarakat patriarkal sering membuat perempuan dan anak-anak menjadi kelompok rentan. Kekerasan seksual tidak hanya menjadi tindakan individual, tetapi juga manifestasi dari struktur sosial yang memperkuat ketidaksetaraan gender.
Ketiga, kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) menjadi fenomena yang mengkhawatirkan. Komnas Perempuan mencatat KSBE sebagai jenis kekerasan seksual yang paling banyak dilaporkan pada 2023, dengan 1.350 kasus di ranah publik. Kekerasan jenis ini semakin banyak terjadi di tengah perkembangan teknologi, namun masih minim perlindungan yang memadai bagi korban.
Dengan data yang menunjukkan tingginya prevalensi dan dampak kekerasan seksual, solusi yang mendesak adalah peningkatan pemahaman masyarakat dan aparat hukum tentang UU TPKS. Selain itu, pemerintah harus memperkuat akses layanan pemulihan bagi korban, termasuk layanan kesehatan mental, dukungan sosial, dan proses hukum yang adil.
Kekerasan seksual bukan hanya masalah individu, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistemik dalam melindungi kelompok rentan. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita dapat mengubah pengalaman traumatis korban menjadi perjuangan kolektif menuju keadilan.
Algina Siti Nurahma
Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar