Isbroad.com, Bandung - Baru-baru ini, jagat maya sedang viral dengan video yang beredar, dimana seorang penjual es teh dimaki-maki di khalayak umum oleh seorang pendakwah. Penjual es teh itu bahkan nampak menahan malu dan sedih ketika di sekelilingnya menertawakan. Berita itu menjadi buah bibir, menimbulkan bebagai tanggapan di media sosial, mulai dari simpati kepada sang penjual es teh, ada yang kritik hingga ada yang mewajarkan terhadap perilaku pendakwah tersebut.
Tanggapan demi tanggapan mulai banyak bermunculan mulai dari para influencer, akademisi, akun media berita, organisasi filantropi hingga para pemuka agama memberikan tanggapannya. Bahkan berita tersebut menyebar ke beberapa platform media sosial lainnya, seperti Instagram, X, dan Tiktok.
Bagaimana tidak berita ini tidak ada tanggapan dari berbagai pihak, apa yang terjadi dilapangan membuat sangat geram netizen, sang pendakwah melontarkan kata-kata yang tidak pantas dan kalimat yang membuat malu, bahkan masuk ke kata hinaan yaitu mengucapkan kata "goblok" kepada penjual es teh yang sedang diam ditempat sambil menjajakan dagangannya.
Respon dari orang-orang yang hadir dan orang yang disamping pendakwah tersebut tertawa terbahak-bahak seolah-olah mewajarkan perilaku tersebut. Sang penjual hanya diam, raut muka yang telihat pun menahan rasa malu dan terlihat sedih ketika orang-orang menertawakannya.
Kasus ini menjadi pengingat betapa pentingnya menjaga adab dalam berdialog, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Sebagai seorang tokoh agama, memiliki posisi yang strategis untuk menjadi teladan dalam menyikapi kritik, terutama dalam menjaga keharmonisan komunikasi. Sebaliknya, masyarakat awam juga perlu belajar menyampaikan pendapat dengan cara yang konstruktif, tanpa melibatkan nada yang menyulut emosi.
Adab dalam berdialog bukan hanya soal sopan santun, tetapi juga soal empati dan pengendalian diri. Dalam Islam, adab adalah bagian integral dari akhlak, dan kasus ini menjadi cerminan bagaimana kita semua, baik sebagai individu biasa maupun sebagai tokoh publik, masih perlu terus belajar dan memperbaiki diri.
Kasus ini, meski terlihat sederhana, membawa pesan yang mendalam bagi kita semua. Kehidupan bermasyarakat yang harmonis memerlukan kesediaan untuk saling memahami, baik dalam hal menyampaikan maupun menerima kritik. Di tengah hiruk-pikuk media sosial, mari kita jadikan kasus ini sebagai momen refleksi bersama untuk membangun budaya komunikasi yang lebih santun dan bermartabat.
Akmal Ridwan
Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar